Beranda | Artikel
Mengenal Ulama Lebih Dekat (2)
Rabu, 11 Februari 2015

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam; Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wa Sallam, juga keluarga, para shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Hal yang sudah maklum bahwa para salafus shalih dahulu selalu mengajarkan agar menjadikan ulama sebagai rujukan dalam segala hal pelik yang membutuhkan solusi. Bahkan lebih dari itu, mereka juga menempatkan ketaatan kepada ulama sebagai prioritas, selama bernilai ketaatan kepada Allah; mencintai, menghormati, dan dan membelanya.

Tentunya, hal ini berbeda dengan zaman kita sekarang, zaman yang sepi dari hingar bingar ilmu agama. Pada zaman yang dikata modern ini, tidak sedikit kalangan yang justru gagal menyikapi ulama; tidak menempatkannya sebagaimana mestinya. Ada yang berlebih-lebihan dan ada pula yang meremehkan. Paling tidak ada tiga pandangan, sebagaimana diungkap ‘Abdurrahman al-Luwaihiq dalam Qawa’id fi at-Ta’amul Ma’a al-‘Ulama hal. 8, yang kini berkembang di tengah khalayak:

Pertama, pandangan yang menganggap bahwa ulama tak beda dengan manusia lainnya. Dalam artian, ulama tak memiliki kedudukan istemewa dalam agama, dan karena itu tak perlu ada sikap hormat terhadap ulama. Pandangan model ini diwariskan oleh sekte Khawarij, yang sejak awal berdiri justu tidak menaruh rasa hormat terhadap para shahabat Nabi. Hal yang akhirnya membuat mereka rugi berlipat; sesat dan menyesatkan.

Kedua, pandangan yang mengkultuskan ulama; mengangkatnya melebihi batas kewajaran. Bahkan, bertaklid buta kepadanya; yang menjadi barometer adalah dirinya, bukan dalil. Pandangan jenis ini memiliki kesamaan dengan sekte Rafidhah yang menganggap imam-imam mereka sebagai individu yang maksum dan menempatkan mereka pada kedudukan yang tak dapat dicapai oleh nabi dan malaikat.

Ketiga, pandangan yang menghormati ulama tapi dengan asumsi yang berlebihan; ulama tak boleh salah. Bila ada yang terjatuh dalam kesalahan, maka kesalahan tersebut dibesar-besarkan dan didengungkan di setiap majelis. Tentunya, ini adalah sikap yang kontradiksi. Di awal, menganggap bahwa ulama tak boleh salah. Tapi di akhir, menjelek-jelekkan dan menjatuhkan harkat ulama sebab kesalahan yang dibuatnya.

Lantas, siapakah yang pantas disebut ulama?

Hal yang tak mungkin dipungkiri oleh siapa pun ialah bahwa ulama itu dikenal karena ilmu yang ada pada dirinya. Ilmu itulah yang membedakan antara dirinya dengan yang lainnya. Oleh karena itu, yang pantas disebut sebagai ulama hanyalah orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari mata air yang suci; petunjuk nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

Di samping itu, orang yang berhak menyandang gelar “ulama” adalah yang mempunyai pendirian kuat ketika ditimpa fitnah dan cobaan. Ketika banyak manusia—bahkan sampai yang mengaku-ngaku ulama sekali pun—tergelincir dalam kubangan syubhat, ia sama sekali tak tergelincir. Pendiriannya kokoh bak paku yang ditancapkan kuat-kuat. Ketika orang-orang—termasuk yang diagung-agungkan sebagai ulama sekalipun—tidak bisa menyelamatkan diri dari belitan syubhat yang memecah belah umat, ia dengan gagah perkasa mampu menyelamatkan diri dan umat dari belitan yang berbahaya itu. Ia bak gunung menjulang tinggi yang tak akan goyah diterpa arus angin deras, sekali pun itu angin topan.

Hal ini sebab keyakinannya yang kuat, kokoh, dan menghunjam dalam-dalam di benak sanubari hasil dari pengaruh ilmu yang dimilikinya.

Simaklah ulasan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Miftah Darussa’adah (I/140) berikut ini, “Sungguh, orang yang mumpuni ilmunya itu andaikata dihadapkan pada syubhat yang seperti bilangan ombak di lautan tak akan goyah keyakinannya dan tak akan mampu keraguan merasukinya. Sebab, ia telah menapakkan kakinya tinggi-tinggi dalam hal ilmu. Bahkan sebaliknya, syubhat itu akan dengan mudah dikalahkannya.”

Ulama juga bisa dikenali lewat ibadah dan rasa takutnya yang tinggi kepada Allah. Merekalah orang yang paling tahu terhadap hakekat Dzat Yang Maha Pencipta.

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir [35]: 28).

Ia dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan agama Islam ini. Seluruh hidupnya, ia persembahkan untuk mengabdi demi tegaknya kalimat tauhid di bumi ini. Waktunya, ia habiskan untuk memerangi kemusyrikan yang menjangkiti dunia Islam. Ia layaknya dokter yang mengobati pasiennya; berusaha keras agar si pasien sembuh dari sakitnya. Ia korbankan segenap hidupnya sampai titik darah penghabisan dalam langkah-langkah dakwah menuju kalimat laa ilaaha illallah. Untuk itu, ia harus rela mengorbankan dunia dan berlalu meninggalkannya di belakang sebab itu adalah batu sandungan terbesarnya.

Itulah ulama yang dikenal manusia. Karenanya, jika anda menjumpai seseorang yang diagungkan dan diteladani oleh semua orang—bukan sekelompok orang saja—berkat ilmu yang dimilikinya berarti ia adalah seorang ulama. “Siapa yang mendapat tempat di hati masyarakat luas, disanjung dan dipuji orang banyak dengan latar belakang yang berbeda-beda, maka itulah dia pemimpin dan penunjuk jalan yang diberitakan bak lampu yang menerangi kegelapan,” tegas Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim dalam Majmu’ Fatawanya.

Di samping itu, seorang ulama juga bisa diketahui lewat rekomendasi yang diberikan oleh para ulama lain yang pernah menjadi gurunya, sebagaimana hal ini sudah menjadi adat yang berlaku di kalangan para ulama sejak zaman para salafus saleh dulu. Mereka senantiasa mewariskan secara turun temurun ilmu yang mereka miliki kepada murid-murid mereka. Murid-murid itulah yang kemudian meneruskan estafet perjuangan guru-guru itu. Mereka tidak akan berani mengambil tongkat estafet ini sampai para guru tersebut benar-benar memberikan rekomendasinya.

Begitulah generasi terdahulu dari umat ini saling mewariskan ilmunya. Dimulai dari nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang mewariskan ilmunya kepada para shahabat. Lalu, para shahabat mewariskan ilmu kepada generasi setelahnya; tabiin. Kemudian para tabiin itu juga mewariskan ilmu kepada generasi setelahnya; Tabiut tabiin. Setelah itu, tabiut tabiin juga mewariskan ilmu kepada generasi setelahnya. Begitu seterusnya sampai hari ini. Ilmu itu senantiasa diwariskan secara turun temurun. Setiap generasi tidak akan berani meneruskan perjuangan estafet generasi sebelumnya sampai betul-betul telah mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu.

Camkanlah petuah Malik bin Anas berikut ini, seperti yang diungkap Ibnu Hamdan dalam Shifatul Fatwa wal Mustafti, “Tidaklah sepantasnya seseorang memandang dirinya sendiri telah layak untuk melakukan sesuatu sebelum ia bertanya kepada yang lebih ahli darinya. Aku tidaklah berani berfatwa sebelum bertanya kepada Rabi’ah bin Yahya. Dialah yang menganjurkanku untuk berfatwa. Andaikata ia melarangku, pasti aku akan menurutinya.”

Selain itu, ia juga pernah memberi nasehat, sebagaimana tulis Ibnu Farhun dalam ad-Dibaj, “Tidaklah setiap orang yang ingin menyampaikan hadis dan fatwa langsung duduk di masjid dan bicara begitu saja tanpa meminta pendapat kepada yang lebih ahli dan pihak berwenang terlebih dahulu. Aku tidaklah berani berfatwa kecuali setelah direkomendasikan oleh tujuh puluh ulama.”

Lain daripada itu, seorang ulama juga bisa dideteksi lewat kajian-kajiannya yang bermutu, fatwa-fatwanya yang tidak kontroversial, dan karangan-karangannya yang memberi pencerahan terhadap umat, bukan memprovokasi.

Itulah di antara beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai barometer untuk menilai apakah seseorang itu layak dikategorikan sebagai ulama atau tidak. Adapun jabatan, pangkat, atau yang semisalnya tidaklah bisa dipakai untuk menimbang keulamaan seseorang. Sebab, gelar ulama itu tidaklah diperoleh melalui pemilihan umum dan serah terima jabatan. Oleh karenanya, siapa pun itu, jika telah diakui oleh umat dan menjadi panutan masyarakat, maka dia adalah seorang ulama meskipun tidak menduduki jabatan tertentu, misalnya ketua MUI atau yang lainnya.

Syeikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim dalam Majmu’ Fatawa-nya mengungkapkan bahwa kedudukan dan jabatan tidaklah bisa menjadikan seseorang yang bukan ulama menjadi ulama. Karena, lanjutnya, jika urusan ilmu dan agama itu ditentukan lewat kedudukan dan jabatan, tentunya kepala negara itu lebih berhak untuk berbicara tentang ilmu dan agama. Namun, kenyataannya justru tidaklah demikian.

Namun, yang harus dicatat di sini ialah tidak setiap orang yang ditunjuk menduduki jabatan tertentu, misalnya ketua MUI, bukanlah seorang ulama. Bukan. Bukan, seperti itu. Sebab, bisa jadi ia adalah seorang ulama yang kemudian ditunjuk untuk menduduki jabatan tersebut. Ia digelari ulama bukan karena jabatan yang didudukinya itu. Tetapi dikarenakan hal-hal yang telah disebutkan di atas itu. Jadi ringkasnya, jabatan bukanlah barometer untuk menilai keulamaan seseorang. Hanya saja ada kalanya jabatan itu diduduki oleh seorang ulama.

Itulah kiranya sekilas pencerahan yang bisa diutarakan. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menjadi batu loncatan kita semua agar bisa lebih mengenal ulama lebih dekat lagi. Wallahu a’lam. []

Penulis: Ustadz Abu Hasan Ridho Abdillah, BA., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Arti Bidah, Sumbu Pendek, Hukum Niat Dalam Shalat, Ayat Tentang Shalat Jumat


Artikel asli: https://muslim.or.id/24533-mengenal-ulama-lebih-dekat-2.html